193 Tahun Pattimura dan Semangat Membangun Indonesia Timur



Jakarta - 15 Mei 1817, Thomas Matulessy atau biasa disebut Kapitan Pattimura, memimpin perebutan Benteng Belanda Duurstede dengan sangat heroik. Rakyat Maluku bangkit mengangkat senjata bergabung dengan raja-raja, patih, para Kapitan, Ketua Adat melawan kekejaman kolonial Belanda.


Kini, setelah 193 tahun peristiwa heroik tersebut, masyarakat Maluku, ahli hukum, ekonom, sosiolog hingga Pemda Maluku berkumpul untuk mengembalikan gelora semangat Pattimura dalam semangat baru.


“Semangat perjuangan ini harus kita teruskan. Tentu sekarang bukan dalam arti perang mengangkat senjata, tapi melawan kemiskinan dan kebodohan yang masih menjadi masalah utama di Maluku,” kata ketua pantia dari Frans Center, Frans Y Sahusilawane kepada wartawan di Hotel Nikko, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa, (11/5/2010).


Waktu itu rakyat Maluku mengangkat Pattimura sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sifat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya dan masyarakat Maluku.


“Hal pertama yang harus diubah masyarakat Maluku jika ingin maju adalah merubah pola pikir dan pola perilaku masyarakat. Jangan biasakan budaya korupsi,” kata tokoh masyarakat Maluku yang juga ahli hukum, JE Sahetapy di tempat yang sama.


Akibat kegigihan masyarakat Maluku, Belanda sampai mengirimkan salah satu jenderal terbaiknya, Laksamana Buykes dengan kekuatan militer penuh yang besar dan kuat. “Dan membangun Maluku, bukan berarti dengan mendatangkan modal besar,” tambahnya.


Namun, setelah 193 berlalu, Maluku kini masih berkutat dalam kemiskinan dan ketertinggalan. Menurut data statistik Pemda Maluku, 98% masyarakat Maluku berada dibawah garis kemiskinan.


“Jika Kalimantan, memberikan sumbangsih 6% ekonomi Indonesia, maka Papua dan Maluku hanya 2 % dari total ekonomi Indonesia,” beber Chief Economist, Bank Mandiri Group, Mirza Adityaswara di tempat yang sama.


Menurut data yang dimiliki Mirza, masyarakat Maluku menggunakan kredit terbanyak untuk kredit konsumsi, bukannya kredit modal kerja atau kredit investasi. “Kredit konsumsi itu ya contohnya dari PNS atau pegawai swasta, mereka kalau gajian kredit beli motor. Harusnya, untuk menggerakan pembangunan ekonomi, yang digerakan adalah kredit investasi/ kredit modal kerja ,” jelas Mirza.


Permasalahan pembangunan Maluku salah satunya karena pemikiran administrasi centris. Yaitu, pembangunan terkotak-kotak pada pembagian wilayah administrasi pemerintahan. “Maluku harus keluar dari cara berpikir tersebut. Pembangunan ekonomi Maluku jangan sempit tergantung adsministrasi pemerintahan, baik kabupaten ataupun provinsi” ujar sosiolog UI Thamrin Tamagola dalam diskusi yang diikuti ratusan masyarakat Indonesia Timur tersebut.


Dia mencontohkan, untuk pembangunan ekonomi Maluku Utara cenderung dekat dengan Sulawesi Utara. Sehingga konsep pembangunan ekonomi harus berkonsep kewilayahan, bukan adsministrasi. “Pemerintah antar daerah harus bekerjasama secara sinergis, untuk membangun proyek bersama,” anjur Thamrin.


Dan kini,setelah 193 tahun berlalu, masyarakat Maluku pun akhirnya merefleksi diri untuk mengambil semangat Pattimura, semangat baru untuk membangun Maluku dan Indonesia Timur pada umumnya. “Kami harap, peringatan perjuangan Pattimura tak cuma ceremony belaka, tapi diwujudkan sebagai titik tolak pembangunan dengan mengumpulkan gagasan cemerlang di atas. Kami harap bisa menjadi rencana aksi ke depan,” pungkas Frans Y Sahusilawane.


Comments