Batik Priangan yang Tertatih


KOMPAS.com - Di sebuah ”pajagan” (tempat membuat batik), enam perempuan dengan canting duduk mengelilingi sebuah kompor berbahan bakar gas. Mereka merupakan generasi ketiga pembatik tulis Sukapura di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Tasikmalaya, yang masih setia bertahan menjaga warisan leluhurnya.

Keenam perempuan itu adalah Oom (55) bersama lima sanak saudaranya. Oom bekerja pada Enung Nurul Huda Kamaludin (63) yang sejak tahun 1976 menjadi perajin batik, meneruskan usaha milik ibunya. Enung, yang mengikuti acara pameran ”The Dancing Peacock, Revitalisasi Tradisi Batik Priangan” di Bentara Budaya Jakarta, 20-30 Mei, adalah salah satu dari 13 perajin batik Sukapura yang masih bertahan.

”Dulu sebelum tahun 1990 saya membawa sendiri batik ke toko-toko di pasar di Tasikmalaya selatan. Dalam seminggu, batik saya bisa laku sekitar sembilan kodi. Setiap kali membawa batik ke pasar selalu habis,” cerita Enung.

Kini dia tidak lagi membawa batiknya ke pasar, melainkan konsumen yang datang sendiri ke rumahnya di Jalan Pasarkolot, Kecamatan Sukaraja.

Namun, berbeda dengan dulu, saat ini batik yang dijual Enung paling banyak 20 kain per minggu. Ini karena hanya sebanyak itulah batik tulis yang bisa dihasilkan per minggu.

”Kalau membuat batik cap bisa sampai 10 kodi per minggu. Tetapi batik cap dibikin kalau ada pesanan saja,” kata Enung, yang saat ini dibantu 10 pekerja dari sekitar 100 orang sebelum memasuki tahun 1990.

Dengan 10 orang yang membantunya bekerja, Enung cukup beruntung karena pengusaha lain hanya memiliki paling banyak lima pekerja.

Kondisi ini terjadi karena banyak pekerja beralih memilih menjadi karyawan perusahaan bordir yang mulai marak di Tasikmalaya tahun 1990-an. ”Risiko bekerja di bordir lebih kecil dibandingkan membatik yang memakai api dan kompor. Apalagi upah di perusahaan bordir lebih tinggi,” kata Enung.

Regenerasi mandek
Kondisi tersebut membuat regenerasi pembatik Sukapura mandek. Bahkan, perajin batik Sukapura lainnya, Uyung (57), mengatakan, ”Kalau para pembatik yang ada sekarang meninggal, kemungkinan besar batik Sukapura tidak ada lagi yang meneruskan.” Uyung pun kini hanya memiliki lima karyawan.

Budaya agraris yang melekat pada pembatik juga menjadi hambatan lain pengembangan batik Sukapura, karena setiap kali ada keperluan di sawah seperti tandur atau panen, pembatik akan meninggalkan sementara kegiatan membatiknya.

Belum lagi banyak di antara mereka yang belum bisa membatik dengan rapi. Saat menjual kain pada pameran batik priangan, Enung sampai harus membawa kain yang hasilnya kurang rapi meski dijual dengan harga lebih murah dibandingkan batik sejenis.

”Soalnya persediaan kain terbatas. Saya sampai mengurangi pesanan di rumah supaya bisa membawa barang ke pameran. Jadi, kain yang kurang rapi pun dibawa,” tutur Endung.

Kondisi serupa juga dialami pengusaha batik di Ciamis. Wieke Dwiharti dari Forum Kajian Antropologi, yang secara kebetulan dibesarkan di Ciamis, mengatakan, usaha batik di wilayah tersebut bahkan sempat mati pada saat krisis ekonomi tahun 1997 setelah mengawali kemunduran mulai tahun 1980-an.

Padahal, seperti terdapat dalam buku The Dancing Peacock, Colours Motifs of Priangan Batik, pada masa jaya tahun 1960-an hingga awal 1980, di Ciamis terdapat hingga 1.200 pengrajin batik. Kejayaan ini ditandai pula dengan adanya Koperasi Rukun Batik yang didirikan tahun 1939, mengikuti Koperasi Mitra Batik di Tasikmalaya.

Seiring dengan kebangkitan usaha batik di daerah lain, batik Ciamis kini secara perlahan mencoba bangkit kembali.

Wieke mengatakan, kondisi-kondisi seperti inilah yang membuat pameran tentang batik priangan dibuat. ”Di Jawa Barat, orang sudah mengenal batik Cirebon, tetapi belum banyak yang tahu bahwa di Ciamis, Garut, dan Tasikmalaya juga ada batik. Mudah-mudahan dengan acara ini, orang jadi tahu ada batik lain di Jawa Barat selain Cirebon,” kata Wieke.

Wieke mengatakan, ada beberapa hal yang membuat bisnis batik Ciamis, Garut, dan Tasikmalaya jalan di tempat, salah satunya adalah pemasaran yang masih terbatas di daerah masing-masing. Kalaupun dijual ke daerah lain, biasanya akan terjadi saling klaim motif.

”Jadi, tidak ada kekompakan di antara mereka. Kalau kompak, batik priangan tentu akan lebih dikenal orang,” kata Wieke.

Tentang motif dan warna, dijelaskan Wieke, perlu ada pendampingan lebih intensif pada para perajin, selain yang selama ini dilakukan pengusaha batik Komar, Komarudin Kudiya.

Hal ini diperlukan karena para perajin harus menyesuaikan batik yang mereka buat dengan keinginan pasar, seperti membuat warna-warna cerah untuk kaum muda. Tentu saja dengan tetap mempertahankan motif dan warna yang menjadi ciri khas daerah selama ini.

Comments