Apa Kebaikan Hitler?

Murid bertanya, “Betulkah tidak ada manusia yang baik dan yang baik cuma Tuhan?”

Jawab gurunya, “Kata 'baik' itu terlalu kecil buat Sang Maha Besar. Dan apakah tidak ada manusia yang baik? Tidak ada manusia yang tidak berdosa bukan berarti tidak ada manusia yang baik. Cobalah tanya itu pada setiap orang. Apa jawab mereka jika kamu bertanya, apakah ayah ibumu orang tidak baik? Apakah anakmu orang tidak baik?”.


To the point. Kalau begitu apa kebaikan Hitler? Masak tidak ada yang baik dari Hitler? Kalau kepercayaan pada Tuhan dijadikan ukuran kebaikan seseorang, maka ya, Hitler memang ada baiknya. Hitler percaya Tuhan, bahkan keyakinannya akan Tuhan disebutnya gamblang dalam bukunya “Mein Kampf”. Namun sayang sekali bukan ketuhanan yang menjadi sisi baik Hitler. Jelas sekali orang yang punya dendam kesukuan (baca: rasist), ketuhanannya patut dipertanyakan.

Lalu apa yang terbaik dari Hitler? Berhasil membangkitkan nasionalisme rakyatnya agar cinta bangsanya? Tidak juga. Karena nasionalisme ala Hitler adalah nasionalisme sempit tanpa azas peri-kemanusiaan, hingga melenceng menjadi chauvinist. “Deutschland über alles”, Jerman di atas segalanya. Konsep itu dipersempit lagi menjadi konsep bahwa darah arya atau ras Jerman adalah ras terbaik yang diciptakan Tuhan. Itu kata Hitler.


Jadi apa kebaikan Hitler? Di sinilah ironi itu. Karena yang terbaik dari Hitler justru karena ketidak-baikannya. Dari ketidak-baikannya itu orang memperoleh pelajaran efek domino.


Cermin efek domino itu memberi pelajaran bagi umat manusia tentang betapa bahaya-nya “prasangka SARA” yang tadinya dimulai dari seseorang. Lalu seseorang itu menjadi pemimpin. Lalu pemimpin itu menularkan penyakit prasangka SARA itu ke kelompoknya. Dan akhirnya meng-infeksi seluruh bangsa. Efek domino dahsyat yang menghasilkan pemusnahan manusia secara massal.



Karena itu prasangka SARA yang terjadi di masyarakat, yang dimulai dari hal yang kecil dan remeh, sebetulnya tidaklah se-remeh yang terlihat. Apalagi jika dibiarkan berlarut-larut hingga mengakar.


Orang heran ketika mengetahui tokoh pemimpin yang menyebut dirinya teladan, banyak bicara tentang nabi, cinta kasih dan kebaikan, dengan enteng melecehkan dan menyerang suku tertentu di media publik. Entah mungkin karena dendam pada seseorang, lalu karena orangnya tidak bisa diserang, maka yang diserang adalah sukunya.

Itu masih ditambah pula dengan menghasut. Etnis A lebih baik dari etnis B. Bisa ditebak bagaimana kualitas dan kredibilitas seorang pemimpin seperti itu.


Pelaku penista suku, ras, agama, jika dilakukan oleh orang yang tidak berpendidikan, masih bisa dipahami. Tapi kalau dilakukan oleh seorang pemimpin ber-edukasi baik dan mengaku religius?


Siapa bilang Hitler tidak mengenal kebaikan? Tentu saja setiap manusia punya konsep apa yang menurutnya baik. Hitler menuangkan idenya dalam bukunya “Mein Kampf”. Dalam bukunya itu terlihat jelas Hitler juga mengenal konsep Ketuhanan. Dikatakannya, doktrin agama bagi pemimpin politik adalah hal yang tidak bisa diganggu-gugat. Tapi Hitler menafsirkan paham ketuhanan menurut kepentingannya sendiri. Dia lalu membaptis dirinya mejadi juru selamat yang dikirim Tuhan untuk memurnikan ras Jerman, dengan cara membasmi etnis Yahudi (plus etnis lain, juga orang cacat).




Buku karya Hitler, ideologi yang membunuh jutaan orang. Juga berisi tentang kepercayaannya pada Tuhan.


Sikap demikian tak ada bedanya dengan tokoh yang fasih menyiarkan kebaikan agama, tapi di satu sisi juga tak bisa melepaskan kebenciannya terhadap seseorang yang merembet ke suku tertentu. Akibatnya terjadi distorsi. Kebenciannya itu menjadi begitu obsesif, hingga sikapnya malah bertentangan dengan kebaikan yang tiap hari diteriakkannya. Di satu sisi menyiarkan kebaikan, tapi di sisi lain menyiarkan hasutan SARA.


Maka timbullah yang dinamakan hipokritas. Dengan khidmat diucapkannya, “Marilah kita membawa orang yang dibenci dalam kasih dan doa setiap hari”. Namun di sisi lain ada doa yang tak terucap, “Toehan kaboel-kan pinta-koe soepaja orang terkoetoek itoe menerima balasan tjotjok dan setjoekoepnja!”. (ejaan kuno disesuaikan dengan gaya antik si pendoa).


Prasangka bukanlah gejala sosial biasa. Prasangka SARA adalah penyakit yang bisa menimbulkan komplikasi psikis kronis yang merusak pikiran jernih.


Berkaitan dengan prasangka, mungkin bisa disimak kisah sufi berikut ini.

Ada seorang pria sangat membutuhkan bantuan. Lalu dia teringat sahabatnya. Tentulah sahabatnya itu bersedia membantunya. Bukankah dirinyalah yang dulu menolong sahabatnya itu memberi tumpangan di rumahnya? Membantunya mendapat pekerjaan? Membantunya mendapatkan istri cantik?

Tapi dipikirnya lagi, bagaimana kalau sahabatnya ini menolak membantunya? “Ah, persetan! Mana mungkin dia melupakan jasa-jasa saya. Masak dia lupa bagaimana miskin-nya dia dulu kalau tidak saya tolong. Bagaimana kalau dia menolak menolong saya? Itu namanya kacang lupa kulit. Mungkinkah dia akan mengusir saya? Bagaimana kalau dia tidak mau membantu saya? Ah, memang dia pelit. Mungkin saja dia akan menolak saya. Ah, dasar tidak tahu terima kasih!”.


Lalu dia menimbang apakah harus mendatangi temannya itu, dengan prasangka buruk, “Mungkin saja dia sekarang menganggap saya tidak sederajat dengannya, karena dia kaya dan saya miskin. Saya miskin? Kurang ajar! Dia berani mengatakan saya miskin? Mobilku ini mahal lho! Saya bukan orang miskin! Memangnya dia itu siapa menuduh aku miskin!!??”. Begitu dia membatin.


Sepanjang malam pikiran negatif tentang sahabatnya itu melanda pikirannya. Dalam perjalanan ke rumah sahabatnya, pikiran jelek itu tetap menghantuinya.


Akhirnya dia sampai di rumah sahabatnya yang telah membuka pintu. Sahabatnya itu dengan kaget berdiri di depan pintu mengucek matanya, dan bertanya “Ada apa datang tengah malam begini?”.


Pria yang butuh bantuan itu yang sebelumnya sudah dipenuhi pikiran jelek, langsung menyembur marah, “Bangsat!!! Kau pikir aku si miskin yang butuh bantuanmu??!!! Jangan pernah pikir aku miskin kere yang ingin mengemis-ngemis bantuanmu! Aku bukan orang miskin...tahu!!!??? Jangan pernah pikir aku mau menginjak rumahmu lagi!!!”. Lalu dengan marah teramat sangat dia pergi meninggalkan sahabatnya yang terbengong-bengong keheranan tak mengerti...#@*? (Kok dia nyebut-nyebut miskin melulu? Siapa yang menuduh miskin? Memangnya kenapa kalau miskin?).


Apa hubungannya kisah sufi di atas dengan Hitler? Inti kisah tadi, tentang bagaimana prasangka bisa sedemikian rupa meracuni pikiran, hingga akhirnya mengambil kesimpulan tak berdasar. Persis seperti yang terjadi pada Hitler.



Hitler dan Eva Braun

Siapapun tahu bahwa Hitler membenci Yahudi. Tapi tidak seorang pun tahu dengan persis mengapa Hitler membenci Yahudi. Ada banyak teori yang menjelaskan mengapa Hitler membenci Yahudi.

Tapi penyebab itu semua hanya spekulasi saja. Hanya mengira-ngira.

Tentang penyebab ayahnya yang berdarah campuran Yahudi yang suka main pukul terhadapnya. Tentang dirinya yang sering diejek di sekolah karena punya darah Yahudi. Tentang penyebab karena Yahudi dianggap biang keladi kesengsaraan Jerman. Tentang cintanya yang bertepuk sebelah tangan pada seorang gadis karena gadis itu berpaling pada priaYahudi. Dan masih sederet penyebab lainnya yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Juga tidak pernah bisa dibuktikan apakah betul Hitler berdarah campuran Yahudi, karena ayah Hitler adalah anak yang lahir di luar nikah. Yang jelas, bagi Hitler ras Yahudi harus musnah, karena ras ini dinilainya tak berharga sehingga bisa mencemari kemuliaan ras Jerman. Tentu saja ini menurut Hitler.


Yang jelas apapun penyebabnya, kebencian terhadap suku, ras, agama selalu berawal dari “prasangka”. Karakteristik tentang seseorang, suku, agama sudah dibentuk di otak dengan tidak didasarkan pada penilaian jernih. Persis seperti kisah sufi di atas. Kebencian Hitler terhadap Yahudi, apapun penyebabnya, bibit awalnya jelas. Yaitu lahir dari prasangka dan gambarannya sendiri tentang keburukan Yahudi yang lalu digeneralisir.


Tak ada bedanya dengan prasangka SARA di masa kini terhadap suku dan bangsa tertentu. Semua orang Yahudi kikir dan licik. Semua orang Jerman jahat seperti Hitler. Semua orang Belanda kejam seperti Westerling. Semua orang Amerika bernafsu menghancurkan agama tertentu. Semua bule brengsek. Semua orang Cina itu begitu. Semua orang Jawa itu begini. Semua orang Padang itu anu. Semua orang Menado itu demikian. Semua orang Sunda....dan seterusnya. Pada intinya menjelekkan suku lain (apalagi suku orang yang dibenci). Jadi cuma beda tipis dengan rasisme ala Hitler.




Menghormati keunikan tiap suku tanpa prasangka kesukuan, mencegah rasisme ala Hitler


Pengaruh budaya kolektif turut menunjang terbentuknya prasangka itu. Cara mengukur seseorang dilihat dari kelompoknya, bukan dari individunya. Ketidak-mampuan membedakan antara perbuatan perorangan dan kelompok. Kita melihat banyak terjadi di sekitar. Contohnya, dendam pada seseorang tidak diselesaikan langsung dengan orangnya, melainkan dengan cara menyerang suku, etnis dan agamanya. Membuat orang lain yang tidak bersalah jadi ikut terseret.


Tiap suku dan etnis punya warisan budaya dengan kelebihan masing-masing.Tapi hal itu berusaha terus disangkal dan dicari kejelekannya dengan tujuan menyerang dan menyakiti.


Prasangka negatif, yang sudah terlanjur tertanam di benak, dipupuk dan akhirnya dipercaya sebagai kebenaran. Hitler membenci Yahudi, berawal dari prasangka bahwa Yahudi itu jelek dan akhirnya dia yakin bahwa semua Yahudi itu memang jelek. Buah terburuk dari prasangka adalah dendam, yang kemudian diwujudkan dengan cara destruktif. Balas dendam demi memuaskan ego si pendendam.


Hasilnya adalah holocaust dan genocide yang diperkirakan memakan korban jiwa lebih dari 11 juta jiwa. Jumlah itu bukan hanya orang Yahudi. Tapi juga kelompok yang dianggap bisa mengotori darah Arya dan menghambat fasisme Hitler. Misalnya ahli kitab suci, pemikir, penganut agama Jehova, kaum Esperantis, orang-orang Nomadis, etnis Slavia, etnis Yugoslavia, etnis Rusia, homoseksual, orang cacat dan beberapa golongan lainnya.




Korban Hitler bukan cuma Yahudi, tapi juga beberapa etnis dan golongan lainnya.



Lalu masih ada lagi yang baik dari Hitler? Hitler yang orator hebat, di masa pemerintahannya disebut banyak membangun industri dan teknologi di bidang transportasi, autobahn (jalan bebas hambatan) dan sejumlah mesin perangkat perang. Sayang semua itu dibuat hanya atas kepentingan memperkuat kekuatan militernya. Juga Hitler disebut mampu membuat Jerman bangkit dari inflasi. Tapi apa artinya semua kebaikan itu, jika dilakukan dengan semangat menghancurkan hidup sesama dan menciptakan ketakutan bagi jutaan umat?


Bagaimanapun baiknya seorang pemimpin, apa artinya kebaikan itu jika disertai kepribadian destruktif yaitu punya prasangka SARA, mudah menista, melecehkan, menghina suku-ras-agama?


Apa lagi kebaikan Hitler? Sehari sebelum bunuh diri bersama Eva Braun di bunker persembunyian di Berlin, akhirnya Hitler mau menikahi kekasihnya itu? Bukan itu.



Hitler bunuh diri, pikirannya dihancurkan prasangka etnis


Jadi masih ada kebaikan Hitler? Ketika Hitler menelan pil beracun cyanide dan menembak kepalanya, sesungguhnya itulah pengakuan Hitler tentang apa yang PALING BAIK, yang harus dilakukan oleh pemimpin seperti dirinya. Amin.

Comments