Bulan Ramadhan Seorang Chamakh



ANAK manis di dalam dan di luar lapangan. Demikian sebutan orang-orang untuk Marouane Chamakh. Di lapangan, ia memang jarang bertingkah. Dalam keseharian pun nyaris tak pernah ada berita miring seperti misalnya berselingkuh, atau mabuk di pub hingga dini hari.

Sejumlah media menyebut striker anyar Arsenal ini sebagai penganut Islam yang cukup taat. Setidaknya, parameternya adalah ia tak pernah minum alkohol, dan selalu ikut berpuasa saat Ramadan.

Pria kelahiran Tonneins, Perancis 10 Januari 1984 ini mewarisi Islam dari ayahnya, El Mostafa Chamakh, pria asal Maroko yang hijrah ke Perancis, tepatnya ke Tonneins, sebuah kota kecil yang dikelilingi sungai Garonne.

Tumbuh dan besar di kawasan tempatnya komunitas perantauan Maroko, nilai-nilai ajaran Islam pun tertanam kuat dalam dirinya. Dan itu menjadi pondasi karakternya sampai sekarang.

Dalam sebuah wawancara dikutip dari 'Girondins.com' beberapa waktu lalu, Chamakh mengatakan semenjak kecil ia memang sudah dididik untuk memaknai Ramadan sebagai bulan paling istimewa.

"Sahur dan buka bersama dengan keluarga besar, kadang juga berbuka bersama seluruh komunitas di mesjid merupakan tradisi kami. Menahan lapar, dan haus seharian. Diikuti dengan membaca Al Qur'an semalaman. Dengan nilai-nilai seperti itulah saya tumbuh dan besar," ujarnya.

Tak heran, ia berani mengambil keputusan yang bagi banyak orang di Barat mungkin dianggap kontroversial. Ia misalnya pernah menolak ikut bertandang ke Tel Aviv, Israel saat klubnya, Boudeaux akan berlaga melawan Maccabi Haifa akhir Desember 2009 lalu.

"Saya tak akan pernah ke sana. Kalian tahu, saya seorang muslim. Faktanya, mereka (Israel, Red) telah merampas tanah orang Palestian. Saya juga manusia biasa yang punya hati, dan mereka (Israel, Red) telah telah berbuat zalim," ujarnya ketika itu.

Kini, Chamakh terus berusaha menyelaraskan kewajibannya berpuasa, dengan tuntutan profesionalitas untuk tetap bertanding di bulan Ramadan. Solusinya sama dengan rata-rata pesepakbola muslim lainnya, yakni tetap berpuasa saat hanya berlatih, namun tak berpuasa saat bertanding.

Solusi ini didapat dari pengalaman empiris. Pernah saat memperkuat Bourdeux pada 2003, ia memaksakan berpuasa saat akan bertanding. Dan itu ternyata sangat menyiksanya. Bayangkan saja, ia harus bertanding dua jam sebelum waktu berbuka, dan rata-rata waktu berbuka di Eropa adalah sekitar pukul 20.00.

"Harus saya akui, berat sekali bertanding sembari berpuasa. Saya sudah merasakannya sendiri. Terlebih belakangan ini siang terasa lebih panjang," ujarnya.

Pada sisi lain, kata Chamakh, Ramadan adalah bulan spesial. "Bisa dikatakan pada siang hari kita menderita, tapi pada malam hari kami merasa takzim dan bahagia. Atmosfernya sungguh berbeda. Ini kesempatan kita untuk menyucikan diri kembali. Momen penting yang tak boleh terlewatkan begitu saja," ujarnya.

Tahun ini, Ramadan terasa lebih berat untuknya karena ia harus tinggal sendirian di apartemennya di London, menyusul keputusannya bergabung dengan Arsenal.

Untungnya, Chamakh bukan termasuk pria manja yang suka neko-neko. Untuk sahur misalnya, ia cukup memasak makanan sendiri yang sederhana, ditambah sejumlah multivitamin. "Saya termasuk penggemar makan. Saya suka memasak makanan sendiri yang sederhana: telur, nasi, pasta.. Nah, pasta Bolognese adalah makanan andalan saya," ujarnya.

Menariknya, sejumlah pengamat di Arsenal memasukkan bulan Ramadan ini sebagai pertimbangan sebelum menilai kemampuan sesungguhnya sang striker. Mereka berasumsi, karena Chamakh tetap menjalankan puasa maka kemampuannya jadi sedikit menurun.

"Ramadan tahun ini jatuh pertengahan Agustus sampai pertengahan September, dan mungkin akan berdampak pada adaptasi Chamack dengan sistem sepakbola cepat ala Liga Inggris. Karena itulah, kita tak boleh terlalu cepat menghakimi dia. Bersabar, dan beri ia waktu untuk 'meledak'," kata seorang fan 'The Gunners' dikutip dari situs tak resmi mereka StonecoldArsenal.com.

Comments