Hutang Klub, Beban Supporter ?


Lima belas tahun lalu, kita mungkin tak terpikir untuk mencari tahu atau memperdulikan siapa yang memiliki klub sepakbola. Namun, secara perlahan dalam satu dekade terakhir, peningkatan jumlah uang yang menggenangi dunia sepakbola meningkatkan minat para supporter untuk mengetahui siapa dibalik layar klub kesayangannya.

Nama besar seperti Manchester United dan Barcelona memang terlihat kuat dari luar, tapi bila ditelusuri apa yang sedang terjadi didalamnya, mungkin orang tidak akan percaya bahwa mereka jelas sedang bermasalah.

Contohnya, Glazer bersaudara yang menjadi pemilik Manchester United. Pengajuan pinjaman keluarga asal Florida, AS, itu pada Januari lalu sebesar 500 juta pound bagi Man United untuk ketiga kalinya sejak mereka mengambil alih pada 2005 dan kemurkaan berlarut para supporter atas beban biaya yang ditanggung United sebesar 460 juta pound dari bunga pinjaman, memicu kampanye massa yang luar biasa besar.

Liverpool tiba-tiba merasa senasib dengan rivalnya itu ketika mereka harus berurusan dengan pemilik tidak populis asal Amerika, Tom Hicks dan George Gillet. Duo tersebut akhirnya menyerah kepada tekanan ganda hasil protes para supporter dan realitas keuangan mereka.

Namun manajemen buruk lebih keras menghantam Portsmouth yang hancur berantakan hingga harus turun divisi. Mereka yang pernah merasakan enam pemilik dalam enam bulan, yang dengan jelas tidak pernah berhubungan dengan kota itu, harus berakhir di di pihak administrator dengan hutang 122 juta pounds. Dari kehancuran itu lahirlah paguyuban supporter yang dibentuk dengan tujuan; klub Portsmouth seharusnya dikelola demi kemaslahatan para fans, bukan investor.

Bagaimana semuanya itu bisa terjadi? Klub-klub sepakbola kini sudah menjadi perusahaan, padahal bukan itu tujuan para pendiri sebenarnya. Namun klub-klub tumbuh menjadi bisnis seiring dengan meledaknya popularitas sepakbola.

Beda di Inggris, beda di Spanyol. Di Spanyol kebanyakan klub-klub dimiliki supporter. Tapi, menurut hukum yang disahkan pada awal tahun 1990 sebagai sebuah jalan untuk memecahkan masalah hutang yang kian menghancurkan klub Spanyol saat itu, setiap klub dipaksa menjadi sebuah Sporting PLC atau SAD. Mereka diwajibkan merestrukturisasi model kepemilikan saham mereka. Dalam hal ini adanya pengecualian terhadap empat klub yang mendapatkan status istimewa karena serangkaian alasan budaya, politis , dan sejarah. Empat pengecualian itu mencakup klub seperti Barcelona, Real Madrid, Athletic Bilbao dan Osasuna.

Apa itu SAD?

Gagasan inti undang-undang SAD adalah bahwa dengan menjadikan klub sepakbola sebagai perusahaan swasta , para pemilik akan lebih berhati-hati dalam mengeluarkan uang mereka sendiri. Namun, asumsi itu tidak terbukti. Fakta berbicara, klub-klub besar Liga Spanyol pun banyak yang terjerat hutang besar. Berdasarkan studi terbaru , utang kolektif persepakbolaan Spanyol mencapai lebih dari 3 milliar euro.

Valencia memiliki hutang sebesar 540 juta euro, Atletico Madrid 300 juta euro, Deportivo 130 juta euro dan Mallorca yang mengalami nasib sama seperti Portsmouth, harus melupakan laga mereka di liga Eropa

Namun apa yang terjadi dengan dua klub besar yang kita kenal boros dalam pembelian pemain?

Hutang kedua klub yang mencapai 1 triliun euro terlihat seperti bayang-bayang yang selalu diselimuti oleh konflik internal. Ditambah skema politik yang destruktif, hal ini biasa diperagakan oleh manajemen kedua klub tersebut. Bahkan mereka memiliki pengaruh yang amat luas dalam memanipulasi setiap kegagalan mereka di mata pemimpin La Liga. Demokrasi tidak selalu menghadirkan realitas yang demokratis. Itulah yang terjadi di La Liga Spanyol.

Apa yang akan terjadi dalam 10 tahun mendatang?

Apakah dengan jeratan hutang besar sepakbola akan tetap eksis seperti sekarang ini? Hal apa yang telah dilakukan FIFA sebagai badan organisasi terbesar sepakbola untuk membantu mengurangi beban klub yang sedang bermasalah?

Pada permulaan sepakbola professional dan sampai pada beberapa tahun belakangan ini, para pebisnis telah mengambil alih kendali hanya karena mereka memberikan janji-janji palsu berupa uang jaminan besar kepada klub. Namun semuanya itu hanya lelucon belaka. Sekarang, keputusan model mana yang harus diambil tergantung pada sikap supporter yang harus memilih antara menerima asumsi bahwa klub adalah bisnis atau yakin bahwa kepemilikan seharusnya mencerminkan karakter asli klub sebagai wadah rasa memiliki.

Comments