JAKARTA, KOMPAS.com — Defisit air baku Jakarta telah mencapai 11.982 liter per detik pada tahun 2010. Jumlah tersebut diyakini akan membengkak lebih dari tiga kali lipatnya pada akhir 2025, yakni menjadi 35.786 liter per detik. Hal tersebut disampaikan anggota Badan Regulator Pelayanan Air Minum (BRPAM) DKI Jakarta Firdaus Ali dalam diskusi "Upaya Mengentaskan Krisis Air di Jakarta", Senin (28/6/2010) di Jakarta.
Menurut Firdaus Ali, Jakarta mengalami defisit air karena 13 sungai yang melewati Jakarta tidak dapat menjadi sumber air baku yang layak. Dengan demikian, penyediaan air bersih perpipaan (PAM) hanya mencakup 44 persen dari kebutuhan air warga Jakarta. "Ada 13 sungai yang melewati, tapi tidak ada satu pun yang layak jadi air PAM kecuali Kali Krukut. Tapi saya katakan, Krukut juga tidak layak, kebocoran PAM juga masih sangat tinggi," katanya.
Selain itu, harga air pipa di Jakarta, menurut Firdaus Ali, masih sangat tinggi dibandingkan harga di kota-kota lain. Harga tertinggi air pipa di Jakarta mencapai Rp 14.650 tiap meter kubik, sedangkan di Surabaya hanya Rp 10.000 tiap meter kubik, menurut data Mei 2010. Harga tersebut juga jauh lebih tinggi dibandingkan harga air pipa di negara-negara Asia Tenggara lainnya. Sebagai contoh, Taipei yang hanya mematok harga Rp 2.196 untuk tiap meter kubik air pipa.
Kondisi tersebut kemudian akan mengakibatkan penggunaan air tanah yang tidak terkendali oleh warga. Pada tahun 2007 saja, kata Firdaus Ali, berdasarkan data pemerintah, jumlah pemakaian air tanah dalam oleh warga mencapai sekitar 22 juta. "Padahal, menurut perhitungan saya, yang diambil Jakarta itu 11 kali dari yang dikatakan, dari 22 juta," katanya.
Padahal, lanjut Firdaus Ali, air tanah Jakarta sudah tidak dapat dipakai lagi sejak 12 tahun yang lalu. Dengan demikian, yang selama ini diambil oleh warga Jakarta dari dalam tanah bukan lagi air tanah, melainkan cadangan air purba yang tersimpan di bebatuan. "Kita sudah mengambil cadangan air tanah purba kita, yang kita isi tidak lebih banyak dari yang kita ambil," katanya.
Penggunaan air tanah purba yang terus-menerus tersebut, kata Firdaus Ali, dapat menyebabkan menurunnya permukaan tanah sehingga diperkirakan Jakarta akan tenggelam sebelum penyediaan air tanah purba itu habis. "Enggak ada pilihan. Sekarang bagaimana mengerem agar tidak naik air laut, tidak turun air tanah, dengan jangan membiarkan semua kebutuhan air bersih rumah tangga mengandalkan air tanah, gunakan air permukaan, perpipaan, PAM," imbuhnya.
Untuk diketahui, menurut data yang disampaikan Firdaus Ali, kecepatan penurunan muka tanah Jakarta pada 2007-2008 mencapai 26 cm per tahun. Untuk itulah, menurut Firdaus Ali, diperlukan strategi dalam memenuhi kebutuhan air Jakarta tanpa mengeksplorasi air tanah berlebihan, yakni dengan memperbaiki pelayanan air perpipaan (PAM), pengendalian bertahan eksploitasi air tahan dalam melalui Peraturan Gubernur 37/2009 yang sudah dilaksanakan, merencanakan dan mengimplementasikan upaya memanen air hujan dan daur ulang limbah cair, serta restorasi dan melindungi sumber air permukaan kota.
Comments
Post a Comment