Otak di Balik Batubara Ramah Lingkungan




Ir Harsudi Supandi adalah salah satu yang prihatin dengan masalah energi. Di tengah cadangan energi minyak yang makin menipis dan permintaan energi yang meningkat, ia melihat bahwa banyak sumber energi di Indonesia yang sebenarnya belum dimanfaatkan.

"Energi Indonesia nggak ada habisnya, tapi belum digali. Energi minyak makin lama makin habis, padahal permintaan makin bertambah. Lihat masalah transportasi misalnya, ada berapa banyak mobil di jakarta sekarang, yang pasti butuh energi," urainya, Rabu (20/4/2011).

Melihat itu, Harsudi tergerak untuk terjun di bidang energi. Lebih dari 30 tahun, ia menangani proyek minyak, gas alam dan pertambangan. Harsudi pernah menjabat sebagai direktur Asia Pacific Petroleum, President Director Celcon Group, dan konsultan Commonwealth Steel dan First Dinasty Mines.

Sejak tahun 1995, ia mulai berpikir tentang sumber energi yang bisa digali dan dimanfaatkan. Dalam meneliti, ia berprinsip bahwa energi yang dihasilkan harus murah, efisien dan bisa diproduksi secara massal sehingga bisa dinikmati banyak orang, termasuk masyarakat kelas menengah ke bawah.

Ia menemukan bahwa beberapa sumber energi terbarukan memang berpotensi, namun mahal dan belum bisa dikembangkan secara massal. Pencarian akhirnya menemukan prospek penggunaan batubara peringkat rendah (low rank coal) sebagai sumber energi alternatif.

"Batubara peringkat rendah ini terdapat dalam jumlah yang melimpah di Indonesia. Selain itu juga tebal-tebal. Menambangnya ini seperti menambang tanah," ungkapnya. Batubara jenis tersebut juga memiliki kelebihan karena kandungan ash dan sulfur yang rendah.

Ia kemudian mengembangkan teknologi Geo Coal untuk mengupgrade batubara peringkat rendah sehingga bisa digunakan. Teknologi Geo Coal mampu mengurangi kadar air, meningkatkan konten energi hingga 50-100 persen dan memodifikasi Hardgrove Grindability Index (HGI) pada batubara peringkat rendah.

Kini, Geo Coal yang dikembangkan Harsudi telah didaftarkan untuk proses paten oleh Drew & Napier LLC Singapura. Harsudi mengatakan, teknologi Geo Coal memiliki kelebihan karena menghasilkan produk batubara yang lebih ramah lingkungan, lebih ekonomis dan bisa meningkatkan marjin keuntungan.

Dengan Geo Coal, batubara peringkat rendah bisa diolah menjadi batubara dengan beragam nilai kalori. "Bisa dijadikan Geo Lite dengan kalori 4800 - 5700 kcal, Geo Hi dengan kalori 5700-6800 kcal dan Geo Met dengan kalori di atas 6800 kcal," jelas Harsudi.

Harsudi mengatakan, saat ini salah satu pembangkit listrik PLN di Labuan, Banten telah menandatangani kerjasama untuk menerapkan teknologi tersebut. Nantinya, batubara dengan nilai kalori di bawah 4000 kcal akan ditingkatkan menjadi 4800, sesuai dengan desain yang dimiliki PLN.

Pabrik komersil Geo Coal juga siap dibangun Juni 2011 di wilayah Tamiang Layang, Kalimantan Tengah. Rencananya, pabrik itu akan punya kapasitas 500.000 metrik ton per tahun dan berfungsi memenuhi kebuuhan produk Geo Coal industri. Sebelumnya, telah dilakukan pengujian di Curug, Tangerang.

Geo Coal hanyalah salah satu teknologi yang dikembangkan Harsudi. Sebelumnya, ia telah mengembangkan teknologi gasifikasi perapian (gassification burner) pada tahun 1998. Teknologi tersebut membantu membawa energi murah ke masyarakat pedesaan.

Selain itu, pada tahun 2001, Harsudi juga mengembangkan teknologi Bamboo Reinforced Plywood (BRP) atau kayu lapis yang diperkuat bambu. Teknologi itu menghasilkan sebuah produk kayu lapis inovatif yang mengurangi kebutuhan penebangan hutan.

Sekarang, Harsudi menjabat sebagai Direktur Total Synergy International (TSI), perusahaan induk berbasis di Indonesia yang didirikan pada tahun 1998, dimiliki oleh Agritrade International Ptd Ltd, WSJ International Shd Bhd dan PT Nusa Galih Nunsantara.

Harsudi juga merupakan anggota Persatuan Insinyur Indonesia dan pengajar di universitas Indonesia. Ia berharap, teknologi yang dikembangkannya kelak bisa dipakai oleh banyak orang.

Comments